Kebijakan Politik Etis
Pemerintah Kolonial Belanda
Politik Etis
bertolak belakang dengan politik pemerasan (drainage politiek) yang
dilaksanakan pemerintah Belanda pada awal abad XIX dalam wujudnya yang mencolok,
yaitu Tanam Paksa. Politik Etis bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat serta menciptakan efisiensi dalam kegiatan pemerintahan.
Setelah
kalangan liberal meraih kemenangan politik di Belanda, muncullah perhatian pada
kemakmuran rakyat wilayah jajahan. Penganut politik liberal, seperti Van
Deventer, mendesak pemerintah Belanda untuk meningkatkan kehidupan wilayah
jajahan. Desakan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa rakyat daerah jajahan
telah bekerja keras memberikan kemakmuran kepada Belanda. Oleh karena itu,
Belanda wajib memberikan kemakmuran bagi rakyat di wilayah jajahan sebagai
balas budi atas kerja keras mereka.
A.
Pemikiran-Pemikiran Politik Etis
Politik Etis
didasarkan pada pemikiran-pemikiran yang pada dasarnya baik, karena sifatnya
berperikemanusiaan. Pemikiran dalam Politik Etis bertumpu pada pendapat bahwa
orang-orang kulit putih diwajibkan melaksanakan tugas suci (mission sacre),
yaitu memajkan peradaban penduduk pribumi yang masih sangat rendah. Tugas ini
diwujudkan dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, dan menyebarkan agama
kristiani.
C. Th. Van
Deventer mengemukakan pendiriannya dalam majalah De Gids (1899)
dengan judul Hutang Kehormatan (een Ereschuld). Sebagai seorang tokoh
etis, van Deventer tidak menyetujui pendirian kaum liberal yang hanya mau
mencari keuntungan dan kekayaan diri sendiri. Kemakmuran yang diperoleh Belanda
merupakan jasa orang-orang Hindia Belanda. Sebagai bangsa beradab, seharusnya
bangsa Belanda merasa berutang budi. Menurut van Deventer, utang budi tersebut
perlu dibayar melalui tiga cara, yaitu irigasi, edukasi, dan migrasi.
Ketiga cara tersebut selanjutnya dikenal dengan Trilogi van Deventer.
Pendapat para
pemikir etis mendapat tanggapan dari pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa
negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta
perkembangan sosial dan ekonomi dari penduduk Indonesia. Hal ini berarti bahwa
Belanda akan mengakui hak penduduk untuk ditingkatkan peradabannya.
B.
Pelaksanaan Politik Etis
Politik Etis
yang pada dasarnya baik karena berdasar perikemanusiaan ternyata pelaksanaannya
jauh dari yang diharapkan. Kepentingan Belanda masih dominan dalam pelaksanaan
Politik Etis. Usulan tentang Trilogi van Deventer dapat diterima oleh
pemerintah Belanda. Akan tetapi, pelaksanaannya diselewengkan menjadi politik
Asosiasi yang hanya menguntungkan pemerintah Belanda. Hal-hal berikut ini
merupakan penyimpangan dalam pelaksanaan Politik Etis.
1. Edukasi (pendidikan),
dilaksanakan hanya untuk menghasilkan tenaga-tenaga kerja terdidik bagi Belanda
yang bersedia diberi upah rendah.
2. Irigasi (pengairan),
dilaksanakan hanya untuk mengairi sawah-sawah yang disewa oleh
pengusaha-pengusaha Belanda.
3. Migrasi (perpindahan
penduduk), dilaksanakan hanya untuk memenuhi tenaga kerja yang dipekerjakan di
perkebunan-perkebunan Belanda di luar Pulau Jawa.
Dengan
demikian, meskipun Belanda telah melaksanakan Trilogi van Deventer, namun belum
dapat mengubah nasib bangsa Indonesia. Politik Etis lebih menguntungkan Belanda
dibandingkan Indonesia. Namun, dalam bidang pendidikan, bangsa Indonesia telah
memperoleh kemajuan. Bangsa Indonesia diperbolehkan belajar di sekolah-sekolah
model Barat, bahkan hingga ke perguruan tinggi, meskipun ketentuan ini hanya
berlaku bagi golongan tertentu. Namun, kesempatan yang hanya sedikit ini telah
melahirkan golongan intelektual.
C.
Kegagalan Politik Etis
Politik Etis
yang dilaksanakan pada tahun 1900-1914, mulai menunjukkan kegagalan. Hal ini
disebabkan faktor-faktor berikut ini.
1.
Terjadinya pandangan-pandangan yang berbeda di
kalangan Belanda, sehingga para pelaksana Politik Etis, seperti para gubernur
jenderal mulai ragu-ragu dan tidka berani secara tegas dalam menjalankan
politik kolonialnya atas Indonesia.
2.
Timbulnya kaum cerdik pandai Indonesia yang
menjadi motor pergerakan nasional Indonesia yang berhasil mempersatukan bangsa
Indonesia sebagai satu kekuatan nasional untuk memperoleh kemerdekaan.
3.
Timbulnya pergerakan nasional Indonesia sebagai
wadah perjuangan dalam lingkup Indonesia sebagai kesatuan dan dengan cara-cara
modern dalam berorganisasi. Jadi, tidak lagi bersifat kedaerahan dan hanya
bergantung pada karisma seorang pemimpin.
4.
Timbulnya Perang Dunia I, yang banyak mengubah
kebijakan dunia, khususnya mengenai hubungan negara penjajah dan negara
terjajah. Akibatnya, Belanda terpaksa mendirikan Dewan Rakyat (Volksraad).
5.
Tidak semua usaha Belanda berhasil dalam
melaksanakan Politik Etis. Misalnya, makin kuat mengalirnya penduduk dari luar
Jawa ke Jawa guna memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, bertentangan dengan
emigrasi yang sedang dilakukan pemerintah Belanda. Akibatnya, muncul
kegelisahan sosial yang meletus dalam wujud pemberontakan petani yang terjadi
di Jambi, Cimareme, dan Toli-toli.
No comments:
Write komentar