contoh khutbah idul adha terbaru

 

KHUTBAH IDUL ADHA TERBARU
MEMBANGUN KARAKTER UNTUK MENUMBUHKAN SIKAP RELA BERKORBAN DEMI KEMANUSIAAN*
Oleh: Drs.H Abdullah Syifa’.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله أكبر 7×
اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْراً وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْراً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَإلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ، اللهُ اَكْبَرُ وِللهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَعَلَ الْيَوْمَ عِيْداً لِلْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحَّدَنَا بِعِيْدِهِ كَأُمَّةٍ وَاحِدَةٍ، مِنْ غَيْرِ الأُمَم، وَنَشْكُرُهُ عَلَى كَمَالِ إِحْسَانِهِ وَهُوَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْراَمِ.
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ، اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ.
الَلَّهُمَّ صَلِّ وَاُسَلِّمُ عَلَى حَبِيْبِناَ المُصْطَفَى، الَّذِّي بَلَّغَ الرِّسَالَةْ، وَأَدَّى الأَمَانَةْ، وَنَصَحَ الأُمَّةْ، وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ دَعاَ اِلَى اللهِ بِدَعْوَتِهِ، وَجاَهَدَ فِيْ اللهِ حَقَّ جِهاَدِهِ.
اَمَّا بَعْدُ: عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ!
Allahu Akbar 3x Wa Lillahil Hamd
Kaum Muslim yang berbahagia rahimakumullah,
Engkau Maha Besar, Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagiMu, dan segala bentuk  pujian hanya MilikMu.
Kita bersyukur, hari ini kita bersama-sama umat Islam di seluruh dunia telah disatukan dan digerakkan hati kita oleh kekuatan Tauhid dan rasa taat kita kepada Allah SWT agar kita menjadi sadar bahwa umat Islam hakikatnya adalah satu umat.
Sebagaimana sebagian saudara-saudara kita yang menunaikan ibadah haji saat ini sedang menunaikan prosesi Wukuf di Padang Arafah, tempat yang disucikan dan dimuliakan oleh Allah Swt. Mereka menunaikan ibadah haji, bukan sebagai bangsa Arab, Timur Tengah, Afrika, Eropa, Amerika, Australia maupun Asia.
Kita bersama-sama umat Islam yang ada seantero dunia ini merayakan hari Agung dan suci ini karena diikat oleh satu ikatan Aqidah Islamiyyah, satu keyakinan, satu kepercayaan dan satu Tuhan yang kita sembah, yakni kepada Allah SWT semata dan segala yang telah disyariatkanNya kepada umat Islam. Sebagaimana keyakinan dan ketaatan sempurna yang dimiliki dan dicontohkan oleh nabi Ibrahim dan Ismail alaihimassalam.
Merayakan Idul Adha atau Hari Raya Qurban sesungguhnya kita  mengenang perjalanan sejarah seorang utusan Allah, yang sarat dengan peristiwa kemanusiaan dan sejarah kenabian seorang yang terjadi lebih dari 4000 tahun yang lalu, sekaligus menggali dan berusaha meneladani nilai-nilai keagamaan, pengorbanan dalam memikul amanah, kesalehan, ketulusan, kesabaran dan keteguhan hati yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim as.
Semata-mata demi untuk meraih kehidupan yang berkualitas dan rasa tunduknya kepada Allah SWT dan sekaligus. Nilai-nilai yang sangat berarti bagi kehidupan sosial, berbangsa dan beragama, yang sangat diperlukan bagi umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks dengan ditandai gerak cepat perubahan masyarakat dan dinamika kehidupan di era modern, lebih-lebih bagi bangsa kita Indonesia yang saat ini sedang mengalami tantangan dan ujian yang sangat berat.
Dari peristiwa sejarah ini pula kita berharap mampu menggugah kesadaran kita, tertanam nilai-nilai dan esensial ajaran, sekaligus untuk berusaha meneladani kepribadian, mentalitas, kecerdasan emosi, kualitas keimanan, dan kedekatannya dengan Allah.
Sudah barang tentu kesempurnaan kepribadian ini sangat kita rindukan dan kita idamkan, di saat bangsa kita sedang dilanda krisis dan problema dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama, mulai dari persoalan korupsi yang episodenya semakin panjang, mafia peradilan dan hukum yang kompleks, memudarnya citra para pemimpin negeri ini, merosotnya wibawa supremasi hukum, teraniayanya para TKW-TKI negeri orang yang makmur dan kaya raya.
Kasus-kasus penjualan bayi, anak-anak dan wanita, terusiknya wilayah NKRI oleh negeri  jiran, maraknya “perang” saudara antar warga masyarakat secara hoprizontal, rakyat dengan aparat secara vertikal, penjahat yang semakin nekad, pembunuhan secara mutilasi dan beranting, perbuatan anarkhi di beberapa wilayah nusantara, terganggunya keamanan dan kedamaian oleh bom para teroris. La Quwwata illallah.Apa makna di balik ini semua?
Allahu Akbar 3x wa Lillahil hamd
Kaum Muslimin Rahimakumullah,
Jika kita cermati secara seksama situasi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, dari waktu ke waktu mengalami rasa ketidakpastian dan shock terhadap perubahan yang terjadi, seiring dengan kemajuan sains, ilmu pengetahuan dan teknologi informasi lebih-lebih media, cetak maupun elektronika yang mengalami euforia publikasi, karena alasan demokratisasi kebebasan pers.
Sehingga sangat berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kita sehari-hari, termasuk perbuatan yang cela dan tak terpuji, bahkan semakin banyaknya perbuatan yang terjerumus dalam lembah maksiyat dan kubangan dosa, baik itu dosa kecil sampai dosa besar.
Bukti yang paling konkret adalah semakin merebaknya penyakit masyarakat, pelanggaran hukum, praktik-praktik penyimpangan seksual, arogansi para penguasa, pelanggaraan norma-norma, perbuatan kriminal, hilangnya rasa malu, aksi-aksi anarkhi atas nama agama, dan tergerusnya nilai-nilai etika dan sopan-santun.
Sungguh sangat memprihatinkan, padahal dulu kita dikenal dan dinilai sebagai bangsa yang agamis dan dikenal oleh pihak dan bangsa lain sebagai bangsa yang santun, ramah dan menghormati adab kesopanan dan disegani oleh bangsa lain.
Mungkin, pasca reformasi sejak akhir awal tahun 1998 hingga sampai saat ini, semakin meningkat intensitas dan kualitasnya disebabkan oleh berbagai faktor kehidupan,  yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung.
Di sisi lain, saudara-saudara kita banyak mengalami musibah yang bertubi-tubi, yang pada gilirannya mereka menjadi rentan terhadap godaan-godaan dan gangguan psikologis yang bisa berakibat merugikan bahkan bisa fatal dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.
Meskipun demikian, sebagai kaum muslimin yang memiliki akidah kepada Sang Maha Pencipta, kitab suci tuntunan umat manusia, syariat yang humanis, suri tauladan, tentu bisa lebih arif dan bijak mensikapi perubahan tersebut.
Kita tidak boleh larut dan terlena, apalagi ikut terperosok, sehingga lupa kewajiban menjalankan segala perintah, tidak patuh dan taat kepada Allah dan RasulNya, sehingga menjadi umat yang ingkar terhadap nikmat Allah dan tidak pandai bersyukur. Naudzubillah min dzalik wa Lillah al-Hamd.
Rasulullah saw. sejak 14 abad yang silam telah memberikan isyarat peringatan (warning) melalui sebuah sabdanya, beliau mengungkapkan:
«يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا، فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ، قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ، فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ»  (H.R. Ahmad dan at-Tirmidzi)
“Hampir-hampir saja para umat itu mengerumuni kamu semua sebagaimana mereka mengerumi makanan di atas nampan. Ada yang bertanya, ‘Apakah karena jumlah kita yang saat itu memang sedikit?’ Baginda Nabi menjawab, ‘Tidak. Justru kalian ketika itu jumlahnya banyak, tetapi kalian laksana buih yang diombang-ambingkan oleh gelombang. Allah benar-benar akan mencabut dari dada-dada musuh kalian perasaan segan terhadap diri kalian. Dan Allah benar-benar akan menancapkan ke dalam hati kalian “al-wahn”. Di antara mereka ada yang bertanya: “Apakah al-wahnitu, wahai Rasulullah”? Beliau menjawab, ‘Mencintai dunia, dan takut akan kematian.’
Orang-orang sekarang banyak yang terjangkit penyakit al-wahn ini, sehingga bangsa kita yang besar ini mulai kehilangan wibawa dan buruk citra di mata dunia, padahal mayoritas beragama Islam.
Berbeda jauh dengan generasi awal Islam, masa Nabi dan Sahabat, yang berbekal dengan pengetahuan agama (al-Ulum ad-Diniyyah), berperilaku mulia (al-Akhlaq al-Karimah), diikat oleh persaudaraan (al-Ukhuwwah al-Islamiyyah), mampu menunjukkan prestasi gemilang dan sukses besar untuk kemaslahatan umat manusia, sehingga kewibawaan dan rasa enggan oleh bangsa lain, dan disegani oleh umat yang lain.
Suatu ketika Khalid bin Walid salah seorang sahabat Nabi, yang pemberani pernah memotivasi pasukannya Hurmuz dengan ucapannya:
« أَسْلِمْ تَسْلَمْ،… فَقَدْ جِئْتُكَ بِقَوْمٍ يُحِبُّوْنَ الْمَوْتَ كَماَ تُحِبُّوْنَ الْحَيَاةَ»
“ … masuk Islamlah kamu, maka kamu pun akan selamat… Aku sungguh telah datangkan kepadamu suatu kaum yang mencintai kematian, sebagaimana kalian mencintai kehidupan.”
Spirit mereka adalah kesediaan mereka untuk berkorban untuk kepentingan yang lebih jauh dan lebih penting dan dalam waktu yang tak terbatas. Pengorbanan itulah begitu mendalam tertanam dalam jiwa, sampai-sampai bisa menikmati kematian, sebagaimana orang-orang kafir menikmati kehidupan.
Kita tidak akan memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan dalam kehidupan dunia ini dan di akhirat nanti, kecuali jika kita bersedia untuk mengorbankan apa yang kita cintai. Nabi Ibrahim as dengan ujian Allah yang sangat berat telah berhasil mencapainya sehingga mendapat predikat Khalilullah (kekasih Allah), karena telah merelakan dan pasrah mengorbankan sesuatu yang sangat dicintai, yakni anaknya Ismail.
Hal ini dijalankan karena semata-mata ketaatannya melaksanakan perintah Allah swt. untuk menggapi ridhaNya. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an:
Artinya:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”  (QS. Alu Imran, 3:92).
            Islam tidak pernah melarang mencari kehidupan duniawi selama tidak berlebih-lebihan, tetapi Islam juga mengajarkan secara serius bahwa kehidupan akhirat itu jauh lebih penting dan lebih memberikan kesenangan yang hakiki.
Setiap langkah kehidupan kita memerlukan pengorbanan, raga, biaya, tenaga, pikiran bahwa terkadang nyawa sekalipun untuk mencapai suatu kebaikan dan untuk mencari ridla Allah. Memang, kita sering salah persepsi terhadap kehidupan dunia dan samar-samar pandangan kita tentang kehidupan akhirat.
Allah SWT mengajari kita secara bijak kepada kita, umat Muhammad melalui firmanNya:
.. bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal sebenarnya ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal sessungguhnya ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.(QS. al-Baqarah, 2:216)
Oleh karenanya, di dalam menghadapi ujian kehidupan dunia ini, kita harus jeli dan teliti dalam menentukan pilihan dan memutuskan sesuatu, karena jangan sampai hamba Allah menjalankan kehidupan ini tidak mempertimbangkan aturan dan syariatNya, serta menyerahkan diri kepada Allah swt, sebagaimana yang dicontohkan nabi Ibrahim ketika diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri.
Berbeda dengan orang –orang yang tidak pandai bersyukur dan tidak memiliki keyakinan atas janji-janji Allah swt, mereka mudah goncang jiwanya, sehingga mengakibatkan putus asa, frustasi, shock, depresi, stress, bahkan menjadi hilang akal/gila.
Allahu Akbar 3x wa Lillahil hamd
Saat ini jumlah penduduk dunia sebanyak 7 milyard, dan bangsa Indonesia termasuk 5 besar berpenduduk mayoritas. Sudah barang tentu banyak persoalan yang muncul untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tuntutan kesejahteraan.
Membangun manusia, tidak cukup dengan pendekatan  materi dan fasilitas fisik semata tanpa menyentuh dimensi-dimensi non-fisik, karena manusia tidak hanya terdiri dari unsur kasar, yakni darah, daging dan tulang, yang merupakan dimensi fisik.
Ada dimensi  lain, yakni ruh dan spiritual yang justru harus mendapat perhatian lebih ketimbang dimensi  fisik. Terbangunnya fisik akan melahirkan manusia robotik bersifat mekanistis yang tidak membutuhkan spiritual-ruhaniah.
Bukankah kita bisa hidup karena Ruh Allah yang ditiupkan ke dalam tubuh kita sebagai titipan suci untuk mengemban amanatNya sebagai Khalifatullah fil Ardh ? Maka, sudah seharusnya kehidupan seorang hamba selalu bertumpu pada jalan kehidupan yang telah digariskan oleh Sang Khaliq, “Shirathal Mustaqim”, “Sabilillah”, “Sabilul Huda”, “Sabilul Haqq” (Jalan yang Lurus, Jalan menuju Petunjuk yang Benar).
Jama’ah yang berbahagia, Jejak kehidupan Ibrahim dan Ismail as, adalah figur manusia dan hamba Allah yang sempurna, taat dan tunduk kepada Sang Maha Pencipta dengan melakukan pembebasan diri dari belenggu berhala materi dan sistem peribadatan yang syirik. Ketundukan dan keikhlasan mereka mengalahkan kekuatan egoisme dan hegemoni materialistik demi  meraih ridha Ilahi.
Manusia modern terjebak dalam permainan duniawi yang penuh rekayasa teknologi dan analisis matematik dengan memutarbalikkan logika dengan menanggalkan dimensi kebenaran dan kemaslahatan, seolah menghasilkan kebenaran.
Kaum Muslim rahimakumullah:
Kisah nyata yang sangat dramatis Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail —’alaihima as-salam— dihadirkan oleh Allah kepada kita untuk menjadi pelajaran dan teladan dalam kehidupan kita (‘Ibrah wa Uswah Hasanah), ketataan keyakinan, kepatuhan dan kepasrahan yang sempurna (muslim yang mukmin) dari seorang utusan Nabi Ibrahim dan Ismail kepada Tuhannya.
Sehingga hati mereka tertanam jiwa yang ikhlas dan terbuka untuk menyampaikan dan menjalankan kebenaran Allah dengan jalan melakukan pengorbanan yang besar terhadap kepemilikan yang tak ternilai harganya.
Ibrahim dengan sepenuh hati menjalankan perintah Allah untuk menyembelih putra semata wayangnya,  Ismail, ia pun dengan rela dan pasrah, tanpa keberatan sedikit pun, bersedia disembelih oleh ayaha kandungnya tercinta.
Semua ini dilakukan semata-mata untuk membuktikan ketaatan mereka kepada Allah SWT. Mengorbankan sesuatu yang dicintainya bukanlah perkara mudah dan sulit dimengerti, bahkan kadang tidak masuk di akal (irrasional). Hanya kekuatan di balik itu semua yang mampu menjelaskannya. Allahu Akbar ‘Alimul Ghaybi wa asy-Syahadah.
Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang kita dihadapkan berbagai kondisi dan situasi yang memaksa dan menuntut kita untuk melakukan pengorbanan, mulai dari hal-hal yang kecil sampai pada hal-hal yang sangat penting.
Banyak kejadian dalam lima tahun terakhir di Negara kita Indonesia yang kita cintai ini, mungkin tidak seluruhnya bisa kita rekam, karena terlalu banyaknya peristiwa-peristiwa alam dan dalam sandiwara kehidupan yang terjadi dan menuntut pengorbanan.
Belum lupa dalam memory kita, bagaimana dahsyatnya gelombang Tsunami di Aceh, Gempa Bumi 27 Mei 2006 di Bantul, Gempa bumi di Sumatera Barat, Tsunami di beberapa tempat Pangandaran, Cilacap, Angin Putting Beliung, tanah longsor di Wasior, menyusul Badai Tsunami di Mentawai, dan kemudian Aktivitas gunung Merapi.  Allahu Akbar 3x wa Lillahil hamd.
Sebagai manusia, sering melihat peristiwa alam hanya dilihat dari sisi kerugian materi dan bersifat kemanusiaan saja. Tetapi yang sering dilupakan adalah aspek Teologis (Ketuhanan), sebab dalam ajaran al-Qur’an Tuhan, manusia dan alam merupakan hubungan relasional yang bisa menyatu dan harmoni.
Karena, pada hakikatnya alam tidak bertindak sendiri tanpa sebab atau tanpa ada yang mengendalikan. Bahwa seluruh ciptaan Allah yang memenuhi alam raya ini, pada hakikatnya tunduk pada hukum alam dan hukum Allah (Sunnatullah).
Termasuk ketundukan Nabiyullah Ibrahim dan Isma’il ketika menjalankan perintah Allah melalui media mimpi yang benar. Jika demikian halnya, maka akan mendatangkan manfaat dan hikmah yang besar dan bermakna bagi kehidupan dan keseimbangan antara manusia dan alam.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah, bagaimana upaya kita untuk mampu menangkap isyarat-isyarat ilahiyah dibalik semua peristiwa, agar kita mampu mengungkap kebenaran Sang Maha Pencipta dan bisa mengambil pelajaran berharga dari ayat-ayat Allah tersebut agar setiap hamba Allah tidak mengalami kerugian ganda (materi dan keyakinan).
Kerugian harta benda dan jiwa bukan semakin menjaga jarak dan menjauhkan diri dari kemahakuasaan dan keadilan Allah. Justru dibalik itu semua ada ujian keimanan dan Allah akan melihat siapa di antara hamba-hambaNya yang lulus daalam ujian ini.
Kaum Muslim rahimakumullah:
Jika pada yaum Nahr (hari berkurban) ini, menyembelih hewan kurban di tanah suci bagi jamaah haji, pahalanya oleh Allah dihitung sebanyak tiap helai bulunya, maka bagaimana dengan pengorbanan total yang kita berikan kepada Allah sebagai manifestasi dari ketaatan kita dalam perjuangan untuk mengembalikan kehidupan Islam dalam kehidupan sehari-hari?
Jika hari ini, jamaah haji yang tengah mengenakan pakaian ihram harus rela menahan sengatan panas matahari, sejak di Arafah, Muzdalifah sampai ke Mina, dengan keringat dan bau badan yang mengalir dari tubuh mereka, dan terhadap semuanya itu mereka dilarang untuk menutup kepala dan memakai wangi-wangian, karena kelak Allah akan membangkitkan mereka sebagai orang yang memenuhi panggilan-Nya.
Waktunya dihabiskan di perjalanan, hartanya pun habis dibelanjakan di jalan Allah, tentu mereka akan mendapatkan kemuliaan yang jauh luar biasa. Karena mereka bukan hanya menjalankan ketaatan untuk diri mereka sendiri, sebagaimana jamaah haji, tetapi ketaatan yang juga bisa ditebarkan kepada orang lain. Allahu Akbar 3x.
Inilah hasil dari pengorbanan yang lahir dari ketaatan, ketakwaan dan pandangan jauh ke akhirat itu. Orang-orang yang taat ketika dipanggil oleh Allah, mereka pun menjawab:
                         «لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ»
”Hamba datang memenuhi panggilan-Mu. Ya Allah, hamba datang memenuhi panggilan-Mu. Hamba datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”
Allahu Akbar 3x wa Lillahil hamd
Kaum Muslim rahimakumullah:
Justru ketika Nabi telah menitahkan dalam Haji Wada’:
«فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ»
”Sesungguhnya darah kalian, harta dan kehormatan kalian adalah merupakan kemuliaan bagi kalian, sebagaimana kemuliaan hari ini, di bulan ini dan di negeri ini.”
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd
Kaum Muslim rahimakumullah,
Sementara kita, saat ini sedang menghadapi problem kehidupan yang bervariasi, berbagai cara manusia menempuh agar keluar dari problema tersebut. Dalam realitanya, sebagian kita tidak takut lagi melakukan perbuatan melanggar hukum, perbuatan dosa, bahkan pelanggaran terhadap agama. Padahal al-Qur’an mengingatkan kita, bahwa maksiyat itu akan mendorong munculnya cobaan dan fitnah, yang akan mendera setiap orang tanpa kecuali Allah berfirman:
وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
”Takutlah kalian terhadap datangnya cobaan/fitnah yang tidak hanya akan menimpa orang yang zalim di antara kalian saja. Ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Keras balasan-Nya.” (QS. al-Anfal [08]: 25)
Allahu Akbar 3x wa Lillahil Hamd
Kaum Muslim Yang Dimulyakan Allah,
Padahal Allah telah menjadikan kita umat paling mulia dan umat terbaik. Lalu di manakah letak kemuliaan dan kebaikan kita sekarang?
Tidak ada lagi solusi lain dalam menjawab tantangan dan cobaan hidup, kecuali dengan kembali kepada ruh dan ajaran Islam secara konsekuen, konsisten dan kaaffah. Itulah yang menjadi penentu kemuliaan kita, sebagiamana dahulu Rasulullah saw. dan para sahabatnya —radhiyallahu ‘anhum— telah meraihnya.
Akhirnya, marilah kita berdoa semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga kita mampu tetap bersabar dan tabah, sehingga kita tetap mampu menjalani kehidupan ini selalu dalam ketaatan dan kepatuhan menjalankan kehendak Allah SWT. Amin…
Innallaha wa Malaikatahu Yushalluna ‘alan Nabiy Ya Ayyuha-lladzina Amanu Shallu ‘alaihi wa Sallimu Taslima, warhamna ma’ahum birahmatika Ya Arhamar Rahimin.
أَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ ،  
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّا مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا      أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْم دُعَائَنَا إِنَّكَ
اللّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا ذ نوبنا وَلِوَالِدَيْنَا وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا
Allahumma nawwir qulubana binuril ilmi, wahdina bi Hidayatil Qur’an, wa Tsabbit Imanana bikalimatikal Haqq ats-Tsabit “Asyhadu an La Ilaha Illa Allah wa Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”.
Allahumma Sallimna minal ‘Afati wa mashaibid Dunya wa fitnati Adzabil Akhirah, Innaka ‘ala Kulli Sya’in Qadir Ya Aziz Ya Karim, Ya Rabbal ‘Alamin.
Allahumma Najjina min Qaumil Musyrikin, wa Najjina minal Qaumil Kafirin, wa Najjina min Qaumil Munafiqin, wa Najjina minal Qaumil Jahilin, La Ilaha Illa Anta ‘Alaika Tawakkalna wa Anta Rabbul Arsyil Adzim, La Haula wa La Quwwata Illa billahil ‘Aliyyil Adzim.
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْم
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، َسُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

No comments:
Write komentar