Edhi Sunarso (lahir di Salatiga, Jawa
Tengah, 2 Juli 1932; umur 83 tahun) adalah pematung Indonesia. Ia
mulai belajar dan berlatih membuat patung ketika menjadi tawanan perang KNIL di
Bandung antara tahun 1946-1949 yang kemudian dilanjutkan melalui jalur
pendidikan resmi di ASRI, Yogyakarta lulus tahun 1955 dan Kelabhawa
Visva Bharati University Santiniketan, India lulus pada tahun
1957. Selain sebagai pematung, ia juga dosen pada Institut Seni
Indonesia, Yogyakarta. Karya yang dihasilkan Edhi Sunarso antara lain,
patung Monumen Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia dan
Diorama Sejarah Monumen Nasional di Jakarta.
DOLOROSA SINAGA
Dolorosa Sinaga (lahir
di Sibolga, Sumatera Utara, Indonesia, 31
Oktober 1953; umur 62 tahun) seorang pematungIndonesia. Karyanya banyak
menampilkan keimanan, krisis, solidaritas, multikulturalisme, dan perjuangan
wanita.
Ia juga pernah menjadi dekan Fakultas Seni
Rupa Institut Kesenian Jakarta. Dan sampai sekarang masih aktif mengajar
di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Ia juga mendirikan studio patung sebagai tempat
berkaryanya yang berlokasi sama dengan tempat tinggalnya di daerah Pinang Ranti
Jakarta Timur sejak tahun 1987, yang Ia beri nama Somalaing art studio.
Dolorosa Sinaga lulus dari Institut Kesenian Jakarta pada
tahun 1977 dan kemudian meneruskan studinya di St. Martin's
School of Art, London, Karnarija Lubliyana, Yugoslavia,
dan San Francisco Art Institute serta Universitas Maryland, Amerika
Serikat. Karyanya cenderung memperlihatkan emosi tinggi yang khas, kebanyakan
berwarna hijau dan memiliki bentuk sederhana. Kebanyakan figur berbentuk
wanita.
Namun
pada pameran Soliloquy, ia memperlihatkan karya-karya dengan detail tinggi
dengan penggarapan lipatan kain yang sangat baik.
GREGORIUS SIDHARTA
Gregorius Sidharta Soegijo (lahir
di Yogyakarta, 30 November 1932 – meninggal
di Surakarta, Jawa Tengah, 4 Oktober2006 pada umur 73
tahun), adalah seorang pematung terkenal Indonesia. Ia juga
dianggap sebagai tokoh pembaruan seni patung Indonesia. Sidharta
dilahirkan sebagai anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Ia mulai belajar
melukis di Sanggar Pelukis Rakyat, Yogyakarta, yang kemudian dilanjutkannya
di Akademi Seni Rupa Indonesia juga di Yogyakarta. Sebelum beralih ke
seni patung, ia sempat mempelajari dasar-dasar melukis dari tokoh-tokoh pelukis
seperti Hendra Gunawan dan Trubus pada tahun 1950-an. Pada
tahun 1953 ia dikirim belajar di Jan van Eyck Academie di Maastricht, Belanda selama
tiga tahun oleh misi Gereja Katolik. Gregorius Sidharta pernah mendapatkan
berbagai penghargaan atas karya-karyanya, antara lain:
Anugerah Seni dari Badan Musjawarah Kebudajaan
Nasional (1952)
Anugerah Seni DKI Jakarta tahun (1982)
Penghargaan Patung Terbaik dari Dewan
Kesenian Jakarta (1986)
Penghargaan ASEAN ke-2 untuk Kebudayaan,
Komunikasi dan Karya Sastra (1990)
Penghargaan Rencana Monumen Proklamator
di Jakarta
I NYOMAN NUARTA
I Nyoman Nuarta (lahir
di Tabanan, Bali, 14 November 1951)adalah pematung
Indonesia dan salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru (1976).
Dia paling dikenal lewat mahakaryanya seperti Patung Garuda
Wisnu Kencana (Badung,Bali), Monumen Jalesveva
Jayamahe (Surabaya), serta Monumen Proklamasi
Indonesia (Jakarta). Nyoman Nuarta mendapatkan gelar sarjana seni rupa-nya
dari Institut Teknologi Bandung dan hingga kini menetap
di Bandung.
I
Nyoman Nuarta adalah putra keenam dari sembilan bersaudara dari pasangan
Wirjamidjana dan Samudra. I Nyoman Nuarta tumbuh dalam didikan pamannya, Ketut
Dharma Susila, seorang guru seni rupa. Pada tahun 1993, Nuarta membuat sebuah
monumen raksasa "Jalesveva Jayamahe" yang sampai sekarang masih
berdiri di Dermaga Ujung Madura,Komando Armada Republik Indonesia Kawasan
Timur (Koarmatim) Kota Surabaya. Monumen tersebut menggambarkan
sosok Perwira TNI Angkatan Laut berbusana Pakaian Dinas
Upacara (PDU) lengkap dengan pedangkehormatan yang sedang menerawang
ke arah laut. Patung tersebut berdiri di atas bangunan dan tingginya mencapai
60,6 meter. Monumen Jalesveva Jayamahe menggambarkan generasi penerus
bangsa yang yakin dan optimis untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia.
karta (1986)
Penghargaan ASEAN ke-2 untuk Kebudayaan,
Komunikasi dan Karya Sastra (1990)
Penghargaan Rencana Monumen Proklamator
di Jakarta
ALI UMAR
Ali Umar (lahir di Padang Pariaman,
Sumatera Barat, 1967) adalah seorang seniman Indonesia yang berprofesi sebagai pematung.
Ia bersama Darvies Rasjidin, Risman Marah, Kasman K.S., Syaiful Adnan,
Syahrizal Koto, Hendra Buana, Arlan Kamil, Basrizal Albara, dan beberapa orang
perupa lainnya, pada akhir tahun 80-an hingga awal 90-an merupakan generasi
pertama anggota Komunitas Seni Sakato, yang lahir dan berbasis di Yogyakarta.
Riwayat ringkas
Ali Umar lahir di Padang Pariaman, Sumatera
Barat pada tahun 1967. Ia mendapatkan gelar S1 bidang seni (S.Sn.) dari
Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pada Januari 2013, Ali Umar maju sebagai
calon ketua umum Asosiasi Pematung Indonesia (API) periode 2013-2017. Namun ia
tidak berhasil dan hanya mendapatkan lima suara dalam pemilihan yang
berlangsung pada Musyawarah Besar III API yang diikuti oleh sekitar 60-an orang
di antara 152 anggota dari berbagai kota, seperti Jogja (80 anggota), Jakarta
(26), Bandung (26), Padang (12) dan Bali (14).
Karena
kegeramannya terhadap para koruptor yang tetap hidup enak walaupun sudah
dipenjara, Ali Umar menghadiahkan kado patung kayu berbentuk penjara kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika hari ulang tahun badan anti rasuah
tersebut pada 29 Desember 2013. Menurut Ali Umar penjara para koruptor mestinya
minim fasilitas seperti sosok patung penjara yang dibuatkannya. Ali Umar
berharap kadonya tersebut dipajang di meja kerja Ketua KPK, Abraham Samad,
sebagai pengingat.
nghargaan Rencana Monumen Proklamator
di Jakarta
Pameran tunggal
Seni Tiga Dimensional, di Benda Art Space,
Yogyakarta (1999)
Solusi, di Rumah Kontrakan, Yogyakarta (2000)
Patung, di Bentara Budaya, Yogyakarta (2005)
Penghargaan
Karya Terbaik dalam Kemah Budaya 2000 di Pantai
Parangtritis, Yogyakarta (2000)
SYARIZAL KOTO
Ia selesai belajar pahat di Fakultas Seni Rupa
dan Desain Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tahun 1991. Karyanya
mendapat penghargaan dalam kategori non-abstrak di Rancang Patung Lingkungan
Citra Raya (Citra Raya Sclupture Design ) pada tahun 1995, dan dia adalah satu
dari tiga pemenang Hadiah di kompetisi Ancol Ancol 2001 di Jakarta. Dia telah
menggelar pameran tunggal di Galeri Sika, Ubud, Bali pada tahun 1997, Yogyakarta
pada tahun 1998 dan Jakarta pada tahun 2001. Dia sekarang tinggal dan bekerja
di Yogyakarta.
Syahrizal kebanyakan menggunakan perunggu untuk
menunjukkan bentuk cacat atau distorsi yang berlebihan dalam karya-karyanya.
Dia mengembangkan gaya ini dengan memulai dengan meningkatnya tingkat asosiasi
artistik. Faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam melihat pahatannya
adalah bahwa figur-figur tersebut sering dimutilasi, diregangkan, ditekuk, atau
memiliki ruang hampa di dalamnya. Hal ini disebabkan pengaruh dari benda-benda
seperti patung kuno, hiasan pada barang antik, dan kesan sihir, yang ia rasakan
terhadap benda-benda dan karya pematung besar lainnya di dunia.
Seniman menangkap eksotisme alam dan narasi
kehidupan dengan gaya tersendiri yang unik. Beberapa karya abstrak ini
menggemakan gambar antropomorfis, karena konturnya lebih dekat dengan figur
binatang atau manusia daripada bentuk geometris. Daya tarik khusus mereka
dicapai melalui distorsi, pemanjangan dan kelengkungan bersamaan dengan
permukaan kasar dan halus yang dicapai dengan memahat, mencubit, dan menerapkan
hal-hal pada model yang dia bentuk. Syahrizal tidak membuat ilusi muncul di
pahatannya. Sebaliknya, seolah-olah ia ingin memamerkan pesona klasik dari
bentuk kepentingan fisik, yang dapat dilihat pada materi, teknik, rincian, dan
gagasan non-artistik dasar yang semuanya menjadi satu kesatuan dalam
karya-karyanya.
BASRIZAL ALBARA
Pekerjaan Basrizal Al Bara saat ini adalah
membuat patung atau pematung. Anak ke 4 dari 7 bersaudara ini bukan berasal
dari keluarga seni, orangtuanya bekerja sebagai pegawai negri yang jauh dari
aktivitas kesenian. Basrizal adalah satu-satunya anak dari 7 bersaudara di
keluarganya yang memilih di jalur kesenian. Sejak kecil ia sudah sangat
tertarik dengan kesenian dan senang menggambar.
Pendidikan formal yang ditempuhnya mulai SD,
SMP, SMSR jurusan patung dihabiskannya di Padang Sumatera Barat. Selulus SMSR
ia melanjutkan ke Institut
Seni Indonesia Yogyakarta jurusan
patung. Tahun 1994, Basrizal mulai menekuni dunia patung secara serius, ia
memilih patung karena di dalamnya terdapat banyak tantangan dan akan selalu
bekerja di teknik-teknik pengerjaan patung serta harus mampu melihat dari
segala dimensi.
Selain kuliah ia juga berguru ilmu dari
eksperimen-eksperimen pencarian bentuk-bentuk baru. Keputusannya mendalami seni
patung nampaknya tidak akan berubah, karena ia merasa yakin akan pilihan jalan
hidup di dunia seni, khususnya seni patung.
Banyak
karya yang telah dihasilkannya, tema-tema sosial juga tak luput dari perhatian
pematung yang pernah mendapatkan penghargaan Lomba Citra Raya "Patung
Monumen Citra Raya". Karya-karyanya sering dipamerkan dalam
pameran-pameran di Yogyakarta dan
kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Semarang, dan lainnya. Salah satu
karyanya menjadi koleksi orang Belanda.
ABDI SETIAWAN
Abdi Setiawan dilahirkan di Sicincin,
Pariaman, Sumatera Barat, 29 Desember 971, dan kini menetap di Yogyakarta.
Karya-karyanya berbentuk instalasi dan patung berukuran manusia uruh (life size)
tentang kehidupan keseharian manusia Indonesia dalam pelbagai latar sosial.
Sosok-sosok manusia di dalam karyanya, juga benda-benda yang menyertai mereka,
sengaja ditampilkan dalam pahatan yang kasar dengan warna-warna yang cenderung
pudar. Patung-patung itu seperti ingin menghindari kesempurnaan rupa—hal yang
biasa ditampilkan oleh seni patung konvensional. Pemiuhan yang samar-samar ini
berwatak ganda: ia mendekatkan (karena pemilihan tema dan model) sekaligus
menjauhkan (karena teknik pahatan dan pewarnaan).
Abdi Setiawan menamatkan pendidikan terakhirnya
di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2003. Salah satu karyanya
tentang manusia-manusia di sebuah kompleks pelacuran, dengan pelbagai aksi dan
gaya mereka, telah menarik perhatian pengunjung “CP International
Biennale: Urban/Culture” (2005). Ia telah ikut pameran bersama sejak
masih duduk di bangku kuliah, terutama dalam “Dialog Dua Kota I” di Taman
Ismail Marzuki (1996) hingga “Jakarta Biennale #14: Maximum Cuty” (2111)
dan “Yogyakarta—5 Artists from Indonesia”, Marc Straus Gallery, New York,
Amerika Serikat (2012). Adapun pameran tunggalnya adalah “Gairah Malam”, Le
Centre Culturel Français, Yogyakarta (2004), “The Flâneur”, Nadi Gallery,
Jakarta (2007), dan terakhir “New Sculptures” di André Simoens Gallery,
Knokke-Zoute, Belgia, dan Metis Gallery, Amsterdam, Belanda (2010). Ia adalah
finalis Phillip Morris Art Award 2001
JHONI WALDI
Jhoni Waldi adalah sosok pematung yang
konsisten berkarya hingga kini. Secara formal dia mulai mempelajari seni patung
semenjak menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Padang,
Sumatera Barat. Lulus dari SMSR, dia meneyelesaikan pendidikan Strata 1 Seni
Patung di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Pameran tunggal Jhoni Waldi akan
diselenggarakan pada 17 – 24 Desember 2013 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan
Suroto 2 Kotabaru, Yogyakarta.
Seni patung atau pahat adalah cabang seni rupa
yang menghasilkan karya berwujud tiga dimensi. Biasanya diciptakan dengan cara
memahat, modeling (misal dengan tanah liat) ataukasting (cetakan).
Seiring dengan perkembangan seni patung modern,
maka karya – karya seninya juga semakin beragam, baik dari segi bentuk maupun
bahan dan teknik yang digunakan. Hal tersebut sejalan dengan perkembangan
teknologi serta penemuan bahan – bahan yang baru.
Di Indonesia, seni patung memiliki berbagai
fungsi, misalnya di Bali, patung digunakan sebagai media peribadatan. Di daerah
lain patung digunakan sebagai monumen guna mengabadikan peristiwa penting atau
menghormati seorang tokoh, terutama pejuang kemerdekaan.
Kelahiran seni patung modern di tanah air,
dipelopori oleh para seniman angkatan tahun 50-an, diantaranya Hendra Gunawan,
Trubus, Edhi Soenarso dan masih banyak lagi. Mereka membuat karya – karya patung
pahatan dari batu vulkanik di Yogyakarta.
Jhoni meyakini bahwa patung merupakan medium
seni yang dapat menampung seluruh ide dan gagasannya. Pada pameran ini, ia
ingin mengartikulasi respons subjek yakni manusia kala mengalami benturan tata
aturan baik biologis maupun konsepsi – konsepsi, konvensi, atau sistem tradisi.
Sejumlah 17 patung Jhoni Waldi menggambarkan
situasi ini sebagai bentuk inklinasi tubuh. Inklinasi memiliki makna suatu
perasaan ingin melakukan sesuatu.
Dengan teknik yang unik dan ditunjang dengan
pemakaian bahan solid, menjadikan pameran ini layak untuk dinikmati.
No comments:
Write komentar