TUJUH
GOLONGAN YANG DINAUNGI ALLAH AZZA WA JALLA PADA HARI KIAMAT
حفظه الله
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ
يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ
الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي
الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ
وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ،
فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا
حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ
خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari
dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Imam yang adil, (2) seorang
pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh, (3) seorang yang
hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan
Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang
laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi
cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan (6)
seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya
sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta
(7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan
air matanya.”
TAKHRIJ
HADITS.
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh:
1. Al-Bukhari (no. 660, 1423, 6479, 6806),
2. Muslim (no. 1031 (91)),
3. Malik dalam al-Muwaththa’ di Kitâbusy Syi’ar bab Mâ Jâ-a fil Muttabi’iin fillâh (hlm. 725-726, no. 14),
4. Ahmad (II/439),
5. At-Tirmidzi (no. 2391),
6. An-Nasa-i (VIII/222-223),
7. Ibnu Khuzaimah (no. 358),
8. Ath-Thahawi dalam Musykilul Âtsâr (no. 5846, 5847), dan
9. Al-Baihaqi dalam Sunannya (IV/190, VIII/162).
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh:
1. Al-Bukhari (no. 660, 1423, 6479, 6806),
2. Muslim (no. 1031 (91)),
3. Malik dalam al-Muwaththa’ di Kitâbusy Syi’ar bab Mâ Jâ-a fil Muttabi’iin fillâh (hlm. 725-726, no. 14),
4. Ahmad (II/439),
5. At-Tirmidzi (no. 2391),
6. An-Nasa-i (VIII/222-223),
7. Ibnu Khuzaimah (no. 358),
8. Ath-Thahawi dalam Musykilul Âtsâr (no. 5846, 5847), dan
9. Al-Baihaqi dalam Sunannya (IV/190, VIII/162).
SYARAH HADITS
Penyebutan jumlah “tujuh” di dalam hadits ini tidaklah merupakan pembatas, sehingga tidak dapat diartikan bahwa golongan yang akan dinaungi Allâh Ta’ala pada hari Kiamat hanya terbatas pada tujuh golongan ini saja. Menurut Ulama ahli ushul, istilah ini disebut dengan mafhûmul ‘adad ghairu murad, yaitu mafhum dari ‘adad (bilangan) itu tidak dimaksudkan. Sehingga apabila disebutkan tujuh, bukan berarti hanya tujuh ini saja.
Penyebutan jumlah “tujuh” di dalam hadits ini tidaklah merupakan pembatas, sehingga tidak dapat diartikan bahwa golongan yang akan dinaungi Allâh Ta’ala pada hari Kiamat hanya terbatas pada tujuh golongan ini saja. Menurut Ulama ahli ushul, istilah ini disebut dengan mafhûmul ‘adad ghairu murad, yaitu mafhum dari ‘adad (bilangan) itu tidak dimaksudkan. Sehingga apabila disebutkan tujuh, bukan berarti hanya tujuh ini saja.
Kedudukan hadits ini sangat penting
agar kaum Muslimin dapat melaksanakan amalan-amalan yang terkandung di
dalamnya, sehingga kita dapat memperoleh perlindungan dan naungan Allâh Azza wa
Jalla pada hari Kiamat.
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ..
Mereka dinaungi oleh Allâh dalam
naungan-Nya..
Ada pendapat bathil yang mengatakan
bahwa mereka (tujuh golongan itu) dilindungi dari matahari, jadi antara mereka
dan matahari terdapat Allâh. Ini adalah pendapat yang bathil, karena Allâh Azza
wa Jalla di atas segala sesuatu sedangkan matahari dan golongan ini di bawah
‘Arsy Allâh. Jadi yang benar adalah mereka (tujuh golongan itu) akan dilindungi
oleh Allâh di bawah ‘Arsy-Nya, karena Allâh di atas segala sesuatu dan berpisah
dengan makhluk-Nya.
Lafazh فِي
ظِلِّهِ,
yaitu
idhâfah (penyandaran) bayangan kepada Allâh Azza wa Jalla . Para Ulama
mengatakan,
إِضَافَتُهُ إِلَى اللهِ إِضَافَةُ
تَشْرِيْفٍ.
Penyandarannya kepada Allâh, yaitu
penyandaran yang bertujuan untuk memuliakan
Yaitu menunjukkan kemuliaan,
seperti masjidullaah, baitullaah, dan selainnya.
Dalam riwayat lain, dijelaskan
bahwa naungan yang dimaksud adalah naungan ‘Arsy Allâh Azza wa Jalla .
Sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah
dari Shahabat Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهِ فِيْ
ظِلِّ عَرْشِهِ…
Tujuh golongan yang dilindungi di
bawah naungan ‘Arsy-Nya…[1]
Nanti pada hari Kiamat, manusia
sangat membutuhkan perlindungan Allâh Azza wa Jalla . Pada hari itu mereka dikumpulkan
di tempat lapang yang sangat luas, tidak ada naungan apapun juga. Mereka
dikumpulkan dalam keadaan telanjang, tidak memakai alas kaki, tidak ada sehelai
benang pun di tubuhnya, laki-laki dan perempuansama. Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّكُمْ
تُحْشَرُوْنَ إِلَى اللهِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلاً
Wahai manusia, sesungguhnya kalian
akan dihimpun (pada hari Kiamat) menuju Allâh Azza wa Jalla dalam keadaan tidak
beralas kaki, telanjang, dan tidak dikhitan[2]
Kemudian matahari didekatkan di
atas kepala-kepala manusia, hingga peluh keringat bercucuran membasahi tubuh
mereka. Sebagian manusia, ada yang terendam sebatas mata kakinya, ada yang
terendam sebatas lututnya, ada yang sampai pinggangnya, ada yang sampai
pundaknya, bahkan ada yang sampai ke mulutnya. Keadaan mereka ini sesuai dengan
amalan-amalan mereka.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُوْنَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيْلٍ
(Pada hari Kiamat) matahari akan
didekatkan (oleh Allâh) kepada seluruh makhluk hingga hanya sejarak satu
miil[3]
Pembahasan tentang tujuh golongan
yang dilindungi Allâh dalam naungan-Nya pada Kiamat ini sangat penting karena
berkaitan dengan iman kepada hari Akhir serta pengetahuan tentang amalan-amalan
yang membawa kita dalam naungan dan perlindungan Allâh Azza wa Jalla .
1.
Seorang Imam Yang Adil
Yang dimaksud dengan Imam yaitu seorang yang mempunyai kekuasaan besar seperti raja, presiden atau yang mengurusi urusan kaum Muslimin.
Yang dimaksud dengan Imam yaitu seorang yang mempunyai kekuasaan besar seperti raja, presiden atau yang mengurusi urusan kaum Muslimin.
Yang dimaksud adil yaitu seorang
imam yang tunduk dan patuh dalam mengikuti perintah Allâh Azza wa Jalla dengan
meletakkan sesuatu pada tempatnya, tanpa melanggar atau melampaui batas dan
tidak menyia-nyiakannya.
Keadilan seorang imam yaitu dengan
menegakkan kalimat Tauhid di muka bumi dan menyingkirkan segala perbuatan
syirik, dan melaksanakan hukum-hukum Allâh Azza wa Jalla, sebab kezhaliman yang
paling zhalim adalah perbuatan menyekutukan Allâh padahal Allâh-lah yang
menciptakannya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“… Sesungguhnya syirik
(menyekutukan Allâh) adalah benar-benar kezhaliman yang paling
besar.”[Luqmân/31:13]
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Karena tujuan manusia diciptakan
adalah untuk beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan untuk beribadah hanya kepada-Ku. [Adz-Dzâriyât/51:56]
Apabila imam atau pemimpin atau
raja atau presiden tidak melaksanakan syari’at Islam artinya dia tidak berlaku
adil, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk
bersabar. Fenomena yang kita lihat sekarang, jika ada seorang imam, penguasa
atau pemimpin yang melakukan kesalahan maka orang-orang berusaha untuk
menjatuhkannya dan berebut untuk dapat menggantikannya. Menurut syari’at Islam,
berkeinginan untuk menjadi penguasa adalah keinginan terlarang, sebagaimana
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para Shahabatnya untuk
berkeinginan menjadi penguasa. Maka yang menjadi tugas kita sekarang adalah
mendukung kebaikannya dan menasihati penguasa yang ada agar ia dapat menegakkan
Tauhid di muka bumi ini, dan kita wajib bersabar atas kesalahannya. Kita
berusaha untuk menasehati dengan cara yang baik sesuai dengan syari’at.
Jika
ada pertanyaan, “Bolehkah seorang wanita menjadi penguasa atau pemimpin?”
Maka jawabnya, “Tidak boleh.”
Maka jawabnya, “Tidak boleh.”
Di dalam hadits di atas pun
disebutkan bahwa imam di sini adalah laki-laki. Tidak ada wanita dalam hal
kepemimpinan. Islam melarang wanita menjadi pemimpin dan melarang suatu kaum
menjadikan wanita sebagai pemimpin mereka.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لَا يُفْلِحُ قَوْمٌ تَمْلِكُهُمُ
امْرَأَةٌ
Tidak berbahagia suatu kaum yang
dipimpin oleh seorang wanita.[4]
Imam al-Baghawi dalam kitab Syarhus
Sunnah menjelaskan tentang keharaman seorang wanita menjadi pemimpin.
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri
bahwa ketika para Shahabat g menyampaikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa orang-orang Persia dipimpin oleh seorang wanita, maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا
أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
Tidak akan berbahagia suatu kaum
jika yang memimpin urusan mereka adalah seorang wanita[5]
Lafazh lan (لَنْ) di sini menunjukkan lit ta’-bîd,
yaitu untuk selama-lamanya kaum tersebut tidak akan bahagia.
Hadits ini dijadikan dalil (dasar)
oleh para Ulama tentang tidak bolehnya seoang wanita menjadi pemimpin. Dan ini
adalah pendapat jumhur Ulama.
Imam al-Khaththabi rahimahullah
berkata, “Seorang wanita tidak boleh menjadi amir atau menjadi qadhi (hakim).”
Imam al-Baghawi rahimahullah
berkata, “Para Ulama sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi imam
(penguasaatau pemimpin), juga tidak boleh menjadi qadhi (hakim).”[6]
2.
Seorang Pemuda Yang Tumbuh Dalam Keadaan Beribadah Kepada Allâh
Dalam sebuah hadits dari Shahabat Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu disebutkan:
Dalam sebuah hadits dari Shahabat Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu disebutkan:
أَفْنَى شَبَابَهُ وَنَشَاطَهُ فِي
عِبَادَةِ اللهِ
Dia menghabiskan waktu mudanya dan
rajin dalam beribadah kepada Allâh [7]
Pada umumnya, seseorang saat masa
mudanya lebih condong kepada kejahatan, kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan
yang melanggar syari’at. Namun ada orang di saat mudanya ia justru mengekang
hawa nafsunya dan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Orang seperti inilah
yang akan dilindungi oleh Allâh Azza wa Jalla .
3.
Seseorang Yang Hatinya Bergantung Pada Masjid
Dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan,
Dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan,
وَرَجُلٌ كَانَ قَلْبُهُ مُعَلَّقًا
بِالْـمَسْجِدِ إِذَا خَرَجَ مِنْهُ حَتَّى يَعُوْدَ إِلَيْهِ …
Seorang laki-laki yang hatinya
terpaut dengan masjid, apabila ia keluar dari masjid hingga kembali kepadanya
…[8]
Hal ini menunjukkan tentang rasa
cintanya kepada masjid untuk shalat dan dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla .
Hatinya bagaikan lampu pelita yang terpasang di atapnya, di mana tidaklah dia
keluar darinya melainkan dia akan kembali.
Kata rajulun (seorang laki-laki)
disini hanya terbatas pada laki-laki saja karena perempuan tidak diperintahkan
untuk meramaikan masjid-masjid Allâh, dalam artian untuk melaksanakan shalat
berjama’ah di masjid. Namun dianjurkan bagi para wanita Muslimah untuk
melaksanakan shalat di rumah mereka,
وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
Dan rumah-rumah mereka lebih baik
bagi mereka[9]
Sedangkan bagi laki-laki diwajibkan
untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.
Wanita Muslimah shalat di
rumah-rumah mereka lebih baik daripada di masjid, akan tetapi apabila mereka
meminta izin kepada suami untuk shalat di masjid, maka suami hendaknya
mengizinkannya dengan ketentuan tidak menimbulkan fitnah. Pakaiannya harus
menutup seluruh tubuh dan tidak memakai parfum (wangi-wangian).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لَا تَمْنَعُوْا نِسَائَكُمُ
الْـمَسَاجِدَ، وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
Janganlah kalian melarang
isteri-isteri dan perempuan (untuk datang) ke masjid, dan rumah-rumah mereka
itu lebih baik bagi mereka[10]
Dalam hadits yang lain, Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ
مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلَاتٌ
Janganlah kalian melarang para
wanita (shalat) di masjid Allâh, akan tetapi hendaklah mereka keluar dalam
keadaan tidak memakai parfum[11]
4.
Dan orang Yang Saling Mencintai Di Jalan Allâh, Dia Berkumpul Dan Berpisah
Karena-Nya
Imam an-Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini dalam kitabnya, Riyâdhush Shâlihîn pada bab “Keutamaan Cinta karena Allâh”.
Imam an-Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini dalam kitabnya, Riyâdhush Shâlihîn pada bab “Keutamaan Cinta karena Allâh”.
Mencinta seseorang hanya karena
Allâh Azza wa Jalla adalah cinta yang tidak dapat dinodai oleh unsur-unsur
keduniaan, ketampanan, harta, kedudukan, fasilitas, suku, bangsa dan yang
lainnya. Akan tetapi dia melihat dan mencintai seseorang karena ketaatannya
dalam melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan kekuatannya dalam
meninggalkan larangan-Nya. Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
“Disebut dengan dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, di mana ia
berpisah dan berkumpul karena-Nya, yaitu apabila keduanya saling mencintai
karena agama, bukan karena yang lainnya. Dan cinta agama ini tidak putus karena
dunia, baik dia berkumpul secara hakiki atau tidak, sampai kematian memisahkan
keduanya.”
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh al-Humaidi disebutkan bahwa yang dimaksud yaitu dia berkumpul
di atas kebaikan.[12]
Kemudian sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
تَفَرَّقَا عَلَيْهِ
Keduanya berpisah karena-Nya
Yaitu keduanya berkumpul dan
berpisah hanya karena Allâh Azza wa Jalla , badannya terpisah karena safar atau
kematian tetapi ruhnya tetap berkumpul di atas manhaj Allâh Azza wa Jalla.[13]
Sebagaimana yang disebutkan pada
sebuah hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْأَرْوَاحُ جُنُوْدٌ مُجَنَّدَةٌ
فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا اِئْتَلَفَ، وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اِخْتَلَفَ.
Ruh-ruh itu selalu terkumpul dan
terhimpun, siapa yang kenal ia akan berkumpul; dan siapa yang tidak saling
mengenal, maka ia berpisah[14]
Hal ini juga berlaku bagi dua orang
wanita Muslimah yang saling mencintai karena Allâh Azza wa Jalla , yaitu cinta
dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .
Oleh sebab itu, apabila kita
mencintai seseorang karena ketaatannya dalam melaksanakan ketaatan kepada Allâh
Azza wa Jalla dan kesungguhannya dalam menjauhi larangan-Nya, maka dianjurkan
oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita memberitahukan
kepadanya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, yaitu:
إِنِّي أُحِبُّكَ فِي اللهِ
Sesungguhnya aku cinta kepadamu
karena Allâh …
Kemudian jawabannya adalah:
أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِي
لَهُ
Mudah-mudahan Allâh mencintaimu
yang telah mencintaiku karena-Nya.[15]
Saling mencintai karena Allâh Azza
wa Jalla memiliki keutamaan yang sangat besar, bukan hanya mereka akan
dikumpulkan dan diberikan naungan, bahkan mereka akan diberikan mimbar-mimbar
dari cahaya oleh Allâh Azza wa Jalla di hari Kiamat.
Sebagaimana hadits dari Abu Dzarr
Radhiyallahu anhu bahwa ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اَلْـمُتَحَابُّوْنَ فِي جَلاَلِي،
لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُوْرٍ يَغْبِطُهُمُ النَّبِيُّوْنَ وَالشُّهَدَاءُ
Orang yang saling mencintai berada
dalam lindungan-Ku; diberikan bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya yang
dicita-citakan oleh para Nabi dan syuhada‘ (orang-orang yang mati syahid)[16]
5. Seorang Laki-Laki Yang Diajak
Berzina Oleh Seorang Wanita Yang Memiliki Kedudukan Dan Kecantikan, Lalu
laki-laki tersebut berkata, “Sungguh aku takut kepada Allâh.”
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ
مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ، فَقَالَ: إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ
Dan seorang laki-laki yang diajak
berzina oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, lalu
laki-laki tersebut berkata: ‘Sungguh aku takut kepada Allâh.
Hal ini bukan hanya berlaku bagi
laki-laki, namun juga bagi wanita. Apabila dia diajak berzina oleh laki-laki
kemudian dia menolaknya sambil mengatakan,
إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ
الْعَالَمِيْنَ
Sungguh aku takut kepada Allâh,
Rabb semesta alam.
Yaitu dia takut hanya kepada Allâh
Azza wa Jalla , maka dia akan diberikan perlindungan oleh-Nya.
Disebutkannya laki-laki ini
sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur-an, yaitu kisah Nabi Yûsuf
Alaihissallam . Beliau Alaihissallam diajak oleh seorang isteri penguasa pada
waktu itu untuk berzina, namun beliau Alaihissallam menolaknya. Allâh Azza wa
Jalla melarang seseorang mendekati perbuatan zina. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ
كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina;
(zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. [Al-Isrâ’/17:32]
6. Seseorang Yang Bersedekah Dengan
Sesuatu Lalu Ia Menyembunyikannya Hingga Tangan Kirinya Tidak Mengetahui Apa
Yang Diinfaqkan Oleh Tangan Kanannya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ
فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
Seseorang yang bershadaqah dengan
satu sedekah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui
apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya.
Sudah diketahui bersama bahwa infaq
itu dianjurkan agar dilakukan dengan tangan kanan karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan menggunakan tangan kanan ketika mengambil
sesuatu, makan, minum, maupun bershadaqah. Sebagaimana yang disebutkan dalam
riwayat Imam Ahmad (VI/94). Juga dalam Shahîh al-Bukhâri di Kitab az-Zakâh
terdapat bab dengan judul Bab as-Shadaqati bil yamin (Bab Sedekah dengan Tangan
Kanan).
Allâh Azza wa Jalla sangat
menganjurkan para hamba-Nya untuk bershadaqah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ
فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ
لَكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ
Jika kamu menampakkan
sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan
memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allâh
akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allâh Mahateliti apa yang
kamu kerjakan.” [Al-Baqarah/2:271]
Menyembunyikan sedekah dalam Islam
memiliki keutamaan, yaitu dapat menjauhkan diri dari sifat riya’. Maka sangat
dianjurkan untuk bershadaqah dalam keadaan sepi dan sembunyi-sembunyi, tidak
terang-terangan.
Namun pada saat-saat tertentu
diperlukan memberikan sedekah secara terang-terangan, misalkan di suatu tempat
didapati orang-orang yang sangat sulit untuk bersedekah, maka dianjurkan untuk
memulainya secara terang-terangan agar menjadi contoh bagi mereka. Sebagaimana
asbâbul wurûd (sebab-sebab datangnya hadits), sabda Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلَامِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ…
Barangsiapa yang memulai sunnah
dalam Islam dengan sunnah yang baik, maka diberikan pahala baginya dan pahala orang-orang
yang mengamalkannya setelahnya tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala-pahala
mereka…[17]
Sedekah
wajib dilakukan dengan ikhlas, sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Orang yang
riya’ dalam beramal, baik ketika memberikan sedekah maupun yang lainnya, maka
amalannya itu tidak bernilai di sisi Allâh Azza wa Jalla . Yaitu jika dia ingin
dilihat orang, ingin didengar, atau dia mengungkit-ungkit amalan yang
dilakukannya, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ
رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ
كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ
لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الْكَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allâh dan hari
kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada
tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan;
dan Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir itu.
[Al-Baqarah/2:264]
Maksud dari seseorang yang
menyembunyikan shadaqah yang dilakukan dengan tangan kanannya dari tangan
kirinya adalah orang ini bersungguh-sungguh dalam menyembunyikan sedekahnya
hingga tangan kirinya, meskipun dekat dengan tangan kanan (padahal berada dalam
satu tubuh), tidak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanannya dalam
sedekahnya tersebut.[18] Namun bagi para isteri dianjurkan meminta izin kepada
suaminya jika ingin bershadaqah.
7.
Seseorang Yang Mengingat Allâh Azza Wa Jalla Dalam Keadaan Sepi Lalu Air
Matanya Mengalir
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا
فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Dan seseorang yang mengingat Allâh
dalam keadaan sepi lalu air matanya mengalir
Yaitu, seorang laki-laki yang
mengingat Allâh atau berdzikir kepada-Nya, berdzikir dengan hati dan lisannya,
dan dalam keadaan sepi lalu air matanya mengalir. Penyebutan rajulun (seorang
laki-laki) bukan pembatasan karena ini juga berlaku bagi kaum wanita. Jika
seorang Muslimah mengalir air matanya tatkala berdzikir kepada Allâh Azza wa
Jalla di kala sepi, maka ia berhak atas naungan Allâh Azza wa Jalla di hari
Kiamat.
Penyebutan syarat dalam keadaan
sepi di sini karena di saat itu sangat jauh dari perbuatan riya’. Tentang
mengalir air matanya karena takut kepada Allâh terdapat beberapa keutamaan, di
antaranya tidak disentuh oleh api Neraka.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
عَيْنَانِ لَا تَمَسُّهُمَا النَّارُ
: عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ ، وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِيْ سَبِيْلِ
اللهِ
Ada dua mata yang tidak disentuh
oleh api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allâh dan mata
yang bergadang karena menjaga peperangan di jalan Allâh.[19]
Berdzikir (mengingat) Allâh Azza wa
Jalla , baik dengan membaca dzikir, do’a maupun bangun untuk shalat di tengah
malam, harus sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Jadi, dzikir-dzikir, do’a atau amalan lainnya, baik jenis, kaifiyat
(tata cara), waktu maupun bilangannya, yang tidak dicontohkan oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tertolak. Karena Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengerjakan suatu
amalan yang tidak dicontohkan dari kami maka ia tertolak!![20]
Demikian juga apabila seorang suami
yang bangun di tengah malam lalu melaksanakan shalat Tahajjud, kemudian dia
membangunkan isterinya untuk melakukan shalat Tahajjud atau sebaliknya, maka
keduanya termasuk orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla
.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ
اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا مِنَ
الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ
Seorang suami yang bangun ditengah
malam dan membangunkan isterinya lalu keduanya shalat malam, maka keduanya
termasuk laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allâh[21].
FAWAA-ID:
1. Keutamaan seorang imam atau pemimpin yang adil, yang berhukum dengan syari’at-syari’at Allâh Azza wa Jalla dan memperhatikan rakyatnya.
2. Keutamaan anak muda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak berbuat maksiat kepada-Nya serta tidak berbuat kejahatan, begitu juga wanita.
3. Wajib mendidik anak-anak dalam taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan mengajarkan tauhid kepada mereka dan akhlak yang mulia.
4. Keutamaan orang yang selalu datang ke masjid dan hatinya selalu bergantung kepadanya untuk berzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan menegakkan shalat berjama’ah.
5. Wajib bagi laki-laki shalat berjama’ah di masjid, sementara bagi kaum wanita, rumah merupakan tempat shalat terbaik mereka.
6. Hati seorang Muslim selalu rindu untuk ibadah di masjid.
7. Cinta yang sebenarnya, dilakukan di jalan Allâh dan semata-mata karena Allâh Azza wa Jalla .
8. Wajib menutup jalan yang membawa kepada perzinaan.
9. Keutamaan menjaga diri dan berpaling dari perbuatan zina karena takut kepada Allâh Azza wa Jalla .
10. Berzina adalah perbuatan keji, dosa besar dan sejelek-jelek jalan.
11. Keutamaan sedekah yang tersembunyi jauh dari perbuatan riya’.
12. Keutamaan merasa diawasi oleh Allâh Azza wa Jalla dan takut kepada Allâh Azza wa Jalla disaat sendirian.
13. Keutamaan menangis karena takut kepada Allâh Azza wa Jalla.
14. Keutamaan berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla ketika sendirian.
15. Bahwa ganjaran itu tergantung dari keikhlasan dan sesuai dengan Sunnah.
1. Keutamaan seorang imam atau pemimpin yang adil, yang berhukum dengan syari’at-syari’at Allâh Azza wa Jalla dan memperhatikan rakyatnya.
2. Keutamaan anak muda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak berbuat maksiat kepada-Nya serta tidak berbuat kejahatan, begitu juga wanita.
3. Wajib mendidik anak-anak dalam taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan mengajarkan tauhid kepada mereka dan akhlak yang mulia.
4. Keutamaan orang yang selalu datang ke masjid dan hatinya selalu bergantung kepadanya untuk berzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan menegakkan shalat berjama’ah.
5. Wajib bagi laki-laki shalat berjama’ah di masjid, sementara bagi kaum wanita, rumah merupakan tempat shalat terbaik mereka.
6. Hati seorang Muslim selalu rindu untuk ibadah di masjid.
7. Cinta yang sebenarnya, dilakukan di jalan Allâh dan semata-mata karena Allâh Azza wa Jalla .
8. Wajib menutup jalan yang membawa kepada perzinaan.
9. Keutamaan menjaga diri dan berpaling dari perbuatan zina karena takut kepada Allâh Azza wa Jalla .
10. Berzina adalah perbuatan keji, dosa besar dan sejelek-jelek jalan.
11. Keutamaan sedekah yang tersembunyi jauh dari perbuatan riya’.
12. Keutamaan merasa diawasi oleh Allâh Azza wa Jalla dan takut kepada Allâh Azza wa Jalla disaat sendirian.
13. Keutamaan menangis karena takut kepada Allâh Azza wa Jalla.
14. Keutamaan berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla ketika sendirian.
15. Bahwa ganjaran itu tergantung dari keikhlasan dan sesuai dengan Sunnah.
MARAJI’:
1. Kutubussittah.
2. Musnad Imam Ahmad cet. Darul Fikr.
3. Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hâkim.
4. Riyâdhush Shâlihîn.
5. Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, oleh Syaikh al-Albani.
6. Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, oleh Syaikh al-Albani.
7. Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdish Shâlihin, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
8. Syarhus Sunnah, oleh al-Baghawi.
9. Dan kitab lainnya
1. Kutubussittah.
2. Musnad Imam Ahmad cet. Darul Fikr.
3. Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hâkim.
4. Riyâdhush Shâlihîn.
5. Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, oleh Syaikh al-Albani.
6. Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, oleh Syaikh al-Albani.
7. Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdish Shâlihin, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
8. Syarhus Sunnah, oleh al-Baghawi.
9. Dan kitab lainnya
No comments:
Write komentar