contoh pelangaran HAM insiden Pembunuhan santa Cruz

 

Insiden Santa Cruz, Dili, Timor Leste


Peristiwa tragis ini terjadi tanggal 12 November 1991 di pekuburan umum Santa Cruz, Dili. Ribuan warga Timor berunjuk rasa tepat dua pekan setelah kematian Sebastiao Gomez Rangel, pemuda Timor Leste yang di bunuh milisi prointegrasi di Gereja Motael, Dili. Jenasah Sebastiao akan di makamkan ulang di Santa Cruz dalam sebuah prosesi yang diperkirakan mengundang kerumunan massa luar biasa besar.

Allan Nairn, jurnalis Amerika Serikat yang saat itu ada di Dili menuturkan, “Seusai misa di gereja Motael, pemuda-pemuda Timor mengeluarkan spanduk dan poster dari balik baju mereka dan mulai bergerak ke arah pemakaman . Sekitar pukul delapan pagi, massa makin padat. Komandan Sektor C/Khusus Dili Kolonel Aruan memerintahkan pasukan Brigade Mobil menyekat massa dengan membentuk barikade di belakang demostran. Pasukan Indonesia terus bergerak maju, mendekati massa yang terkepung. Komandan Kompi Gabungan Letda Sugiman Mursanib berteriak memerintahkan pasukannya melepas tembakan peringatan ke udara. Mendadak serentetan tembakan terdengar. Massa di bagian belakang roboh. Sisanya bubar, tunggang langgang.
Demostrasi yang dilakukan dalam Peristiwa 12 November 1991 di Dili diyakini Sintong bukanlah demonstrasi biasa. Ada unsur pembrontakan terhadap pemerintah. Para demonstran di dapati membawa senjata api laras panjang, pistol, granat tangan, senjata tajam dan pentungan, selain bendera Fretilin maupun Falintil. Di sekitar pekuburan umum Santa Cruz ditemukan barang bukti berupa sepucuk senapan serbu Heckler & Koch G3 dengan delapan butir peluru, dua pucuk senapan Mauser dengan 13 butir peluru, sepucuk pistol FN dengan 12 butir peluru, sepucuk pistol Smith & Wesson dengan empat butir peluru, enam buah granat tangan, 26 bilah parang, 70 bilah pisau dan berbagai jenis senjata lainnya seperti tombak, kapak, sabit, dan pipa besi sebagai pentungan.
Meletusnya Insiden Santa Cruz tidak lepas dari kebijakan pemerintah Jakarta. Dalam analisinya, Sintong Panjaitan mengatakan bahwa semua ini tidak lepas dari kebijakan Presiden Soeharto. Keberhasilan operasi teritorial selama satu setengah tahun mendorong Presiden Soeharto memutuskan bahwa Timtim dinyatakan sebagai daerah terbuka, seperti 26 provinsi lainnya. Menurut Sintong, keputusan Soeharto pada tahun 1990 itu tergesa-gesa. Keputusan itu menimbulkan gejolak sosial yang mengarah kepada perpecahan di masyarakat. Membanjirnya pendatang di Timtim menimbulkan bibit pertentangan yang bersifat SARA. Di kalangan penduduk asli Timtim telah muncul perasaan tidak senang dengan kedatangan suku Makassar dan Bugis yang di anggap sebagai kelompok penghisap baru dan menghambat kehidupan ekonomi mereka. Para pendatang menguasai perdagangan sampai tingkat kecamatan. Kondisi sosial politik masyarakat Timor Timur saat itu mirip jerami kering yang siap dibakar.


No comments:
Write komentar